Banner 468 x 60px

 

Kamis, 02 Mei 2013

Weave Sarung Donggala

0 komentar

travel.detik.comSelama ratusan tahun, masyarakat Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah menyulap pintalan sutra menjadi kain tenun. Hingga saat ini tak sedikit pun corak, warna, hingga cara pembuatannya yang melenceng dari tradisi.

Sutra punya kelas lebih eksklusif dari jenis kain lainnya. Kain ini pula yang menghubungkan banyak bangsa dalam Jalur Sutra ratusan tahun silam. Tak heran kain ini digunakan oleh para aristokrat, atau bangsawan yang punya nilai tinggi terhadap pakaian.

Tapi, Anda tidak akan menemukan stratifikasi sejenis itu di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Jika Batik seringkali jadi pengganti seragam kantor tiap hari Jumat, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Donggala mengenakan kain sutra dengan motif dan warna yang khas. Inilah Buya Sabe, atau kain tenun Donggala.

Bertolaklah ke Desa Towale, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Pemandangan sehari-hari di sini hampir tak biasa: para perempuan yang duduk seharian di depan alat tenun tradisional. 

Pintalan benang sutra dalam berbagai warna sudah terpasang di tempat seharusnya. Ada kuning, oranye, hitam, dan ungu. Ketika pintalan pertama berhasil teranyam, rutinitas sudah jadi harga mati. Mereka harus melanjutkan pekerjaan menenun seharian, hingga jadi rutinitas berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan setelahnya.

Bagi para wanita Donggala, menenun sutra seakan jadi bawaan dari lahir. Kain cantik ini begitu akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Dari situs Teluk Palu yang dikunjungi detikTravel, Selasa (29/5/2012), kegiatan menenun Buya Sabe sudah ada lebih dari 200 tahun yang lalu. Dulu kain ini hanya boleh digunakan dalam upacara-upacara tertentu seperti perkawinan, sunatan, dan beberapa upacara adat yang sakral. Kain ini juga digunakan saat menjamu tamu dan melayat kerabat yang meninggal dunia.

Sekarang, Anda bisa melihat para PNS di Kabupaten Donggala mengenakan Buya Sabe tiap Jumat. Anda bisa mengenali kain ini dengan mudah, yaitu lewat bahan, corak dan warnanya. Bahan kain ini sudah tentu sutra. Coraknya mayoritas bunga, seperti mawar, anyelir, subi, dan kumbaja (kamboja). Orang tua cenderung mengenakan Buya Sabe berwarna tua, begitu pun sebaliknya.

Di sini tak ada klasifikasi dari segi ekonomi atau pun jabatan terhadap pemakai sutra. Buktinya Buya Sabe tak hanya digunakan oleh bangsawan, tapi juga masyarakat lokal yang berusaha melestarikan kekayaan budaya.

Desa Towale terletak 34 kilometer dari Kota Palu, dan bisa dicapai dalam waktu 4 jam menggunakan kendaraan bermotor. Anda bisa melihat sendiri keseharian para wanita Donggala menenun sutra, serta langsung membelinya untuk cinderamata.

Satu buah kain tenun Donggala harganya sekitar Rp 600 ribu untuk panjang empat meter. Mahal? Tampaknya tidak, mengingat kain itu dibuat berbulan-bulan penuh kegigihan. 

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar